Haruskah Ada Jarak di Antara Kita

Oleh : Nuria Bonita Foto : Achsan Abidin

ALIA April 2010

Haruskah Ada Jarak di Antara Kita ?

Pekerjaan dan berbagai kepentingan hajat hidup kadang memaksa suami dan istri hidup terpisah. Bagaimana tuntunan Islam?

Bukan lantaran menghayati pepatah “jauh dimata dekat di hati” bila Luqman dan Vita memilih tinggal berjauhan. Namun keadaanlah yang memaksa pasangan suami istri yang sudah menikah lima tahun ini menjalani rumah tangga antara Jakarta dan Ponorogo, Jawa Timur.

Luqman seorang wiraswastawan di bidang desain dan penerbitan di Jakarta. Sementara Vita karyawati sebuah bank pemerintah yang bertugas di Ponorogo. Luqman sulit untuk bisa membuka cabang di Ponorogo. Luqman sulit untuk bisa membuka cabang di Ponorogo begitu pula Vita tak mudah untuk minta mutasi ke Jakarta.

Akhirnya, karena tak mampu menemukan titik temu, pria berusia 32 tahun ini terpaksa menerima tinggal jauh dari Vita, yang kini sedang mengandung lima bulan, dan putrid sulungnya Kayla yang baru berusia empat tahun. Biar begitu, setiap ada kesempatan pulang. Luqman segera meluncur ke Ponorogo. “Biasanya sekitar dua minggu atau tiga minggu sekali saya pulang” tuturnya.

Vita juga tak jarang mengunjungi Luqman di Jakarta, untuk bisa melihat dan mengenal bagaimana pekerjaan dan lingkungan pergaulan suaminya. Sebetulnya baik Luqman maupun Vita merasa baik-baik saja menjalani long distance marriage, tapi terkadang masalah datang saat ada perasaan tidak terima dengan keadaan yang terjadi pada mereka.

Biasanya perasaan ini muncul tatkala ada rangsangan negatif dari luar. Misalnya saat sedang merasa sendirian atau stress karena pekerjaan. “Kalau lagi tak bisa mengontrol, kesalahan sedikit dalam pembicaraan bisa timbul konflik,” ungkap Luqman.

Tapi Insya Allah Luqman mengaku berusaha selalu bersyukur sehingga bisa tetap sabar menjalaninya. Ia memegang prinsip seperti pepatah bahasa Arab “zurghibban tasydad hubban” yaitu bertemulah jarang-jarang karena menambah rasa cinta. “Kunci nya adalah saling mengerti dan saling percaya serta komunikasi yang baik, ” ujarnya.

Luqman dan Vita tidak sendiri. Buktinya saat di kereta dalam perjalanan menuju Ponorogo, Luqman seringkali menemukan orang yang ‘senasib’ dengannya. Ada yang sudah menjalani LDM selama sepuluh tahun, ada juga yang belasan tahun, tapi mereka tetap berusaha menikmati situasi itu. “Perjalanan yang melelahkan tak terasa lagi,” cerita Luqman.

Selain Luqman dan teman-temannya di kereta, masih ada Bekti dan Ferdian yang hanya pernah tinggal bersama paling lama empat bulan. Sisanya, sepanjang usia pernikahan mereka yang sudah berjalan empat tahun, mereka hidup terpisah.

Di awal pernikahan, Bekti masih bekerja di Aceh sementara Ferdian sudah membangun usaha sekaligus masih sekolah di Yogyakarta. Setahun kemudian Bekti mengambil pendidikan lanjutan di Inggris selama setahun. Sepulang dari Inggris, Bekti bekerja di Jakarta hingga sekarang.

Mereka hanya sempat merasakan indahnya kebersamaan saat Bekti cuti melahirkan di tahun lalu. Sebetulnya, baik Bekti maupun Ferdian tak ingin menjalani rumah tangga berjauhan.

Tapi keadaan belum memungkinkan mereka berkumpul bersama. Bekti masih merasa perlu menyiapkan investasi buat pendidikan anaknya. “Sedangkan pundi-pundi nya ada di Jakarta,” tuturnya.

Namun sarjana psikologi Universitas Gajah Mada ini tetap menargetkan maksimal dalam lima tahun sudah bisa berkumpul dengan pasangan sebagai satu keluarga yang utuh. Kalalupun saat itu ia harus meninggalkan pekerjaannya sekarang, ia rela.

Terkadang Bekti merasa miris karena harus berjauhan dengan suami sehingga tak bisa merasakan kasih sayang yang optimal. Apalagi setelah ia memiliki anak. Dukungan dari suami berupa limpahan kasih sayang sangat dibutuhkannya.

Memang itulah risiko yang menghadang pasangan suami istri yang hidup tak satu atap. Ustadzah Zulia Ilmawati, S Psi, anggota DPP Hizbut Tahrir Indonesia mengatakan pasangan yang menjalani long-distance marriage tentu tak bisa menjalani hak dan kewajiban masing-masing sepenuhnya.

Si Istri tak dapat sepenuhnya melayani suami dan sang suami pun tak bisa melindungi, mengayomi dan memerhatikan istri seutuhnya. Padahal salah satu wujud keluarga ideal adalah keluarga sakinah yang dapat tercapai antara lain bila hak dan kewajiban suami istri terpenuhi, yaitu fungsi-fungsi dalam keluarga seperti fungsi ekonomi, pendidikan, afeksi dan proteksi berjalan baik.

Mungkin fungsi pendidikan dan ekonomu tetap terjaga saat di antara anggota keluarga tinggal berjauhan. Namun fungsi afeksi dan proteksi bakal sulit terwujud sepenuhnya, begitu kata Zulia.

Bila fungsi-fungsi dalam keluarga, serta hak dan kewajiban tak terpenuhi dengan baik, maka peluang menjadi keluarga sakinah menjadi susah terwujud. “AKhirnya tujuan menjadi keluarga ideal tak bisa benar-benar tercapai.”  Tutur Zulia.

Memang belum tentu pernikahan serumah juga dipastikan mencapai keluarga ideal. Tapi dengan menjalani rumah tangga berjauhan, bakal semakin mempersempit ruang pahala yang sebetulnya sangat lapang tercipta dalam pernikahan, karena ada hak-hak dan kewajiban yang tak bisa tertunaikan tadi.

 

 

DARURAT

Lantas, apakah Islam melarang long distance marriage? Zulia belum menemukan ayat dalam Al-Qur’an maupun hadits yang menyebutkan larangan perkawinan jarak jauh. “Hanya saja ya tak bisa optimal mencapai keluarga sakinah itu tadi,” terangnya.

Yang jelas ada sebuah atsar atau contoh dari para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu kali Khalifah ‘Umar bin Khattab mendengar seorang perempuan berkeluh kesah karena merindukan suaminya yang belum juga kembali dari medan perang, dan kekuatannya akan berbuat dosa karena mengharapkan sentuhan kasih sayang. Maka Khalifah ‘Umar pun bertanya kepada putrinya sendiri, Hafsah, sang Ummul Mu’minun (ibunda kaum beriman) yang juga istri Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berapa lama kiranya seorang istri dapat bersabar ditinggal oleh suaminya. Empat hingga enam bulan, ujar Hafsah. Maka sejak itu, ‘Umar bin Khattab’ menetapkan bahwa seorang prajurit Muslim tidak boleh pergi ke medan perang lebih dari empat bulan.

Di masa ini – kita bukan perang fii sabililah yang memisahkan suami dari istrinya – maka perlu kita pertanyakan benar se-urgent apa long distance marriage. Tidak sedikit rumah tangga rusak kesuciannya karena si istri atau si suami pergi dalam jangka waktu sangat lama. Di surat kabar, majalah dan media elektronik bertaburan cerita tentang seorang lelaki yang melampiaskan nafsu seksualnya kepada yang haram, karena si istri bekerja sekian tahun lamanya di Saudi Arabia atau tempat-tempat lain. Kita dapati juga berita-berita tentang perempuan-perempuan yang rusak akhlaqnya – berzina dan kemudian hamil – dengan lelaki – lelaki asing di tempat mereka bekerja.

Pernikahan, tentu saja, bukan sekedar sarana memperoleh kepuasan seksual namun melibatkan seluruh fungsi pernikahan yang ditetapkan oleh Syari’ah dan dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya saja, suami adalah pemberi nafkah istri dan anak-anak nya, tapi dia juga seorang Imam yang harus memastikan kelurusan aqidah dan ibadah keluarganya. Dia seorang pelindung yang menjaga anak istrinya dari marabahaya fisik, sekaligus mata air kasih sayang rumahtangga sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selalu bersikap lembut dan penuh cinta kepada anak-anak dan istri-istrinya.

Rumah Tangga adalah jalinan hak dan kewajiban kepada Allah Ta’ala dan jalinan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Suami memikul segerobak tanggung jawab kepada Allah dan kepada istrinya, selain tentu saja memilki hak-hak atas istrinya yang tak boleh dilanggar oleh siapa pun, termasuk oleh si istri sendiri. Demikian pula, seorang perempuan memikul beban Syariah yang luar biasa karena statusnya sebagai istri, sekaligus memikul beban tanggung jawab kepada dan sang suami – sekaligus memiliki segerobak hak yang dia bisa tuntut dari suami nya dan hak ini tak boleh dilanggar oleh siapa pun apa lagi oleh suaminya.

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sesungguhnya seorang istri belum dapat dikatakan telah menunaikan kewajibannya terhadap Allah sehingga ia telah menunaikan kewajibannya terhadap suaminya seutuhnya. Dan Jika suami nya memerlukannya sedangkan pada waktu itu dia sedang berada di atas kendaraan, maka tidak boleh ia menolaknya” (HR Thabrani)

Lalu bagaimanakah bergudang-gudang hak dan kewajiban ini bisa tertunaikan dan terpelihara baik bila suami dan istri hidup berjauhan? Memang ada masa nya ketika perpisahan tidak bisa dielakkan misalnya ketika berperang atau berdagang dan seorang istri yang baik didefinisikan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 34 sebagai “Wanita yang shalihah adalah wanita yang taat pada Allah dan memelihara diri di balik suaminya (saat suami tidak ada) oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…  ”

Namun selayaknyalah long-distance marriage tidak dijadikan norma atau malahan dianggap biasa. Semestinya model rumah tangga seperti ini justru harus dijadikan keadaan darurat yang memaksa baik suami dan istri untuk terus berdoa kepada Allah Ta’ala dan berikhtiar untuk segera berkumpul.

 

CARI ALTERNATIF

Yang pertama kali harus dipikirkan bila menghadapi kemungkinan long-distance marriage adalah bertanya sungguh-sungguh apakah alasannya bisa diterima oleh Syari’ah. Lalu, Zulia juga menyarankan, sebelum memutuskan tinggal berjauhan, suami dan istri harus memikirkan apakah masih ada alternatif lain yang bisa dilakukan untuk membuat mereka tetap satu rumah. Biasanya suami istri harus berpisah karena factor pekerjaan dan sekolah.

Untuk Itu sebaiknya mereka mencari jalan terlebih dahulu, apakah ada kemungkinan salah satu mengalah dengan mengikuti pasangan atau malah akhirnya sang suami atau sang istri tak jadi pergi. “Kalau masih banyak alternatif lain, usahakan jangan berpisah jarak, biar bagaimana pun tetap lebih baik bersama,” ujar Zulia yang juga merupakan psikolog dan pemerhati masalah keluarga ini.

Betapa pun besarnya materi yang harus dikorbankan untuk bisa berkumpul dengan pasangan, tak akan seberapa nilainya dibandingkan dengan berkah dan kebahagian hidup bersama, begitu tutur Zulia.

Memang Benar. Jangan Lupa, banyak sekali pahala dan keberkahan dari Allah Ta’ala yang turun kepada suami dan istri yang shalih dan shalihah. Jangankan pahala untuk make love, sedangkan bergandengan tangan saja menyebabkan gugurnya dosa-dosa suami dan istri dari sela-sela jari mereka. Kalau kekasih hati jauh di seberang lautan, bagaimana mau diajak bercinta atau bergandengan tangan? Bagaimana mau meraup pahala dan keberkahan dari Allah Ta’ala?

Zulia menyarankan agar suami istri memilih hidup sederhana tapi bersama-sama daripada berlimpah harta tapi harus hidup terpisah. Tentunya demi bisa mencapai tujuan mulia pernikahan yang pada hakikatnya merupakan separuh agama.

“Akan tetapi, kalau memang terpaksa harus terpisah berbeda kota atau negara, sebaiknya pasangan suami istri tak melakukannya terlalu lama,” kata Zulia. “Tetap ada batasan hingga kapan berumah tangga jarak jauh ini harus berlangsung”

Sebab, bila terlalu lama terpisahkan jarak, semakin banyak masalah yang akan muncul. Masalah paling utama biasanya adalah mengenai komunikasi. Potensi timbul miskomunikasi di antara pasangan lebih mudah. Karena tak bisa bertemu setiap saat, maka ada hal-hal yang tak bisa terpecahkan pada saat itu juga.

Ujungnya tentu bisa berakibat percekcokan. Meski sekarang sudah muncul berbagai alat komunikasi canggih yang bisa memudahkan komunikasi terjalin kapan saja dan dimana saja, tetap akan berbeda rasanya dengan bertemu langsung. “Saat bertemu, lebih mudah penyelesaiannya,” ungkap Zulia.

 

KOMUNIKASI DAN LINGKUNGAN

Masalah juga bisa timbul akibat tidak terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing tadi. Suami dan Istri sama-sama memiliki kebutuhan lahir dan batin yang bisa muncul setiap saat dan tentu akan sulit terpenuhi bila berjauhan jarak. Ketika pasangan tidak ada disamping bila tidak disertai kekuatan iman, bisa jadi tergoda.

Ya, sebagaimana disentuh diatas, kesulitan utama saat jauh dari pasangan adalah menjaga diri. Hal inilah yang harus ditanamkan pada masing-masing pasangan untuk menjaga aqidah dan seluruh jiwa dan raga agar tetap memelihara kesucian dan kehormatan diri dan rumahtangga.

Dibutuhkan komitmen luar biasa besar bagi suami dan istri untuk terus memelihara diri agar berjalan dalam Syari’ah saat terpisah jauh dari pasangan mereka. Jangan lupa pula untuk memilih lingkungan dan pergaulan yang baik. Bila istri ditinggal suami, maka pastikan tempat tinggal istri memang aman sehingga istri juga bisa menjaga diri.

Selain itu, pasangan harus membuat program komunikasi yang baik. Jangan berpisah begitu saja. Misalnya jadwal kunjungan yang rutin, baik si suami yang pulang ke rumah setiap dua minggu sekali seperti Luqman, atau si istri yang berkunjung ke kota atau negara tempat suami bekerja seperti Vita.

 

Menjalani long distance marriage memang ibarat memakan buah simalakama. Pilihan untuk hidup bersama atau hidup terpisah sama-sama mengandung resiko yang tak ringan. Maka, yang penting pasangan harus bisa menetapkan sebuah pilihan ingin membentuk sebuah keluarga seperti apa. Lalu, mintalah kepada Allah dalam do’a yang sungguh-sungguh agar bisa membentuk keluarga seperti itu. Insya-Allah do’a yang penuh keikhlasan akan dikabulkan Allah.

 

Bersahabat Dengan ALLAH

Allah Ta’ala menciptakan berbagai kaum manusia dalam keadaan yang berbeda-beda ada yang tampak kaya, ada yang tampak miskin – sebagai bagian dari ujian hidup bagi setiap orang yang bersangkutan.

Namun bukan kelebihan atau kekurangan dalam hal materi atau kekayaanlah yang menentukan nilai manusia, melainkan ketaqwaannya kepada Allah Ta’ala.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 13,

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal – mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Apa sih taqwa itu? Taqwa adalah rasa takut kepada Allah yang menjadikan seseorang berusaha melindungi dirinya dari murka Allah dengan cara melakukan hal-hal yang menyenangkan dan diridhai Allah Ta’ala. Kita takut kepada Allah, kita takut Allah akan murka kepada kita, kita sadar bahwa Allah mengawasi seluruh diri kita, luar dan dalam, lahir dan batin, selama 24 jam dalam sehari demi membuat Allah suka kepada kita. Karena itulah kita dirikan shalat. Bukankah Allah sudah perintahkan kepada kita untuk menegakkan shalat dalam rangka mengingat Dia? Tentu saja, pada saat yang bersamaan, selalu ada pihak yang selalu berusaha membuat kita melupakan Allah Ta’ala, membuat kita melupakan bahwa seharusnyalah kita takut kepadaNya,

Dan membuat kita lupa shalat atau pun melakukan apa saja yang akan menarik simpati dan ridha Allah. Nah pihak ini, siapa lagi kalau bukan setan?

Kita semua memang selalu ada berada dalam pertarungan – antara ingat kepada Allah dan lupa kepada Allah. Dengan demikian, untuk dapat mencapai apa yang disebut taqwa, kita harus terus bertarung dengan setan yang membisik-bisikkan kepada kita agar lupa. Namun kalau kita berhasil mencapai posisi ingat dan takut kepada Allah itu, alias Taqwa, maka hadiah yang akan kita capai sungguh luar biasa : Dijadikan teman, aulia, oleh Allah.

Mana ada sahabat sebaik Allah Ta’ala?

 

 

Sebagaimana Allah firmankan dalam Al-qur’an surah Yunus ayat 62-64,

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak(pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa”

“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat – kalimat (janji-janji) Allah. Yang Demikian itu adalah kemenangan yang besar.”

 

GIVING IS A LIFESTYLE

Dalam salah satu hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, beliau bersabda sebagaimana dilaporkan oleh Abu Hurairah…

“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman, ‘Barang siapa yang mencoba menyakiti sahabatku, maka Aku canangkan perang atas dirinya!’ ”

 

Inilah status teman, sahabat Allah, alias aulia : seseorang yang sedemikian dilindungi oleh Allah Ta’ala sehingga Allah Ta’ala bahkan menyatakan perang atas diri musuh-musuhnya! Perlindungan apa lagi, dari mana lagi, yang kita perlukan kalau Allah sendiri sudah menjanjikan keistimewaan seperti itu?

Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah berfirman, “Hambaku tidaklah mendekat kepadaku dengan (melakukan) sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang telah Aku wajibkan atas diri nya. ”

 

Kalau kita ingin mendekat kepada Allah, menjadi sahabat Allah yang kemudian mendapatkan perlindungan istimewa dari Nya.

Maka rute nya adalah hanya dengan rute yang Allah tetapkan, yakni dengan melakukan semua hal-hal yang telah Dia wajibkan atas diri kita.

 

Tidak ada jalan pintas menuju taqwa dan persahabatan dengan Allah selain dengan melakukan hal-hal yang diwajibkan atas diri kita, dan mencoba menambahnya dengan hal-hal yang sifatnya sunnah.

Shalat adalah sesuatu yang wajib kita lakukan lima kali sehari, namun kita masih ingin menambah dan menyempurnakannya dengan shalat-shalat sunnah. Misalnya, istikharah, tahajud dan witir. Semua proses melaksanakan ini mengubah sesuatu yang bersifat ritual menjadi sesuatu yang lebih bernilai tinggi. Shalat bukan sekedar rutinitas tapi sudah menjadi gaya hidup.

Hal ini berlaku pula pada ibadah wajib lainnya seperti berpuasa. Rute menuju taqwa dan persahabatan dengan Allah adalah dengan melaksanakan semua yang wajib lalu menambahkannya dengan yang sunnah dan mengubah yang sekedar rutin menjadi sebuah gaya hidup. Karena kita sudah terbiasa berzakat, lalu mencoba untuk selalu berinfaq dan bersedekah, maka memberi menjadi gaya hidup.

Giving is Lifestyle

Inilah cara hidup yang sesuai dengan taqwa. Untuk mereka yang beruntung bisa menciptakan gaya hidup seperti ini, kata Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah akan jawab do’a – do’a nya. Kalau orang seperti ini meminta perlindungan dari Allah, maka Allah berikan kepadanya perlindunganNya yang MahaSempurna.

Kalau kita menginginkan cinta Allah – dan jangan lupa, Allah mencintai semua sahabatNya – maka kita harus berusaha mencapai dan menggapai cinta itu dengan cara melaksanakan semua yang wajib dan menambahkannya dengan yang sunnah. Itu saja.

Seseorang yang bertaqwa akan merasakan ketenteraman dan sakinah yang luar biasa, sehingga yang luar biasa, sehingga tidak lagi dikendalikan oleh berbagai keinginan material semata. Kalau masalah menghadang, mereka tidak menjadi panik dan bingung, karena hati mereka sudah tenteram.

Bila berhasil kita capai ini, maka Insya-Allah, kita sudah sampai pada kebahagian sejati.

Allahu a’lam bish-shawwab.

10 Tips Melatih Anak Puasa

Gemari Edisi 92/Tahun IX/September 2008

10 Tips Melatih Anak Puasa

Shaum (puasa) Ramadhan adalah salah satu pilar dari Rukun Islam. Mendidik anak dan remaja untuk berpuasa menjadi kewajiban keislaman yang integral bagi para orang tua. Para sahabat rasul telah mendidik putra-putri mereka untuk berpuasa. Seperti yang dituturkan Rubayyi binti Mu’awiz tentang bagaimana cara mereka mendidik anak mereka agar berpuasa Asyura (sebelum diwajibkan puasa Ramadhan).

“…dan kami melatih anak-anak kami yang masih kecil untuk berpuasa. Kami bawa mereka ke masjid dan kami buatkan mereka mainan dari bulu. Apabila diantara mereka ada yang merengek minta makan, maka kami bujuk dengan mainan it uterus hingga tiba waktu berbuka ” (HR Bukhori Muslim)

Dari riwayat diatas, kita dapat mengetahui bahwa para sahabat memberikan perhatian serius dalam melatih putra-putri mereka untuk membiasakan berpuasa. Lantas, apa yang dapat kita lakukan saat ini untuk meneladani tradisi sahabat tadi. Ada 10 tips yang dapat kita lakukan

Pertama:

Lakukan pengkondisian menyambut Ramadhan memberi bekal pemahaman yang memadai tentang keutamaan Ramadhan.

Dua:

Sambut Ramadhan dengan keriangan dan keceriaan

Tiga :

Menata jam tidur anak sehingga akan mudah bergairah saat bangun sahur.

Empat :

Tidak meletakkan makanan, minuman dan buah-buahan secara terbuka.

Lima :

Anak yang baru berlatih puasa sebaiknya dijauhkan bermain dari anak yang malas berpuasa.

 

Enam :

Beri stimulus dengan pahala Surga dari Allah.

Tujuh :

Latih anak berpuasa secara bertahap dan menjanjikan hadiah sebagai rangsangan.

Delapan :

Memberi alternatif pengisian waktu yang tepat dan positif, baik dengan istirahat tidur di siang hari maupun alternatif permainan yang mendidik mereka melupakan rasa haus dan lapar.

Sembilan :

Mengajak anak untuk meramaikan syiar Ramadhan.

Sepuluh :

Khusus untuk orang Tua, jika mereka menyepelekan pendidikan puasa Ramadhan bagi anak, maka mereka harus siap bertanggung jawab kepada Allah.